Jakarta, BEREDUKASI.Com — TAHUN 1994, atas izin Tuhan, saya mengunjungi Kairo, Mesir (Benua Afrika Utara) dan beberapa kota di Timur Tengah diantaranya Jeddah, Makkah dan Madinah. Singgah sebentar di Bahrain, kota semenanjung di Teluk Persia.
Bagi saya inilah perjalanan “spiritual” yang menginspirasi dan tak terlupakan hingga kini. Di tengah cabaran hidup dan mendapat fitnah, Allah SWT akhirnya memberi penghiburan, menguatkan. Dengan mengundang saya untuk mengunjungi rumah-Nya, “Ka’bah Baitullah” untuk melaksanakan ritual suci “Haji Kecil” atau Umroh. Hanya dengan uang 35 ribu rupiah.
Sepuluh tahun kemudian (tahun 2004), nikmat Tuhan kembali membawaku melanglang buana ke “Negeri Matahari Terbit” Osaka, Kiyoto, Yokohama dan Tokyo (Benua Asia Timur). Di tahun sebelumnya untuk kawasan Asia Tenggara, saya sudah pernah bertandang ke Malaysia dan Singapore.
Tak lama berselang (tahun 2005), berkat Tuhan kembali membawaku ke Sydney (Benua Australia). Saya berkesempatan mendatangi Gedung Opera dan Sydney Harbour Bridge yang sangat “iconic” (simbol peradaban) dan mendunia itu.
Alhamdulillah, tahun lalu (2018), saya dapat merasakan ibadah bulan suci Ramadhan di Paris, Prancis (Benua Eropa Barat). Sambil tetap “berpatang” saya mengunjungi pusat-pusat keramaian, di sepanjang jalan Rue Du Laos, hingga di sudut taman kota di bawah Menara Eiffel dan Trocadero. Saya mendatangi kawasan wisata Gereja Norte Dome, Pavillion De La Tremoille, The Louvre Museum, serta mengarungi sungai terpopuler, River Seine di Paris. Jangan tanya, tentang simbol peradaban “Islam” tidak hadir di sini.
Pada kesempatan perjalanan ini saya juga mampir di Qatar, Negara Emirat di Timur Tengah. Negara kaya dengan cadangan gas alam dan minyak terbesar ketiga sedunia. Bandar udaranya, Doha International Airport, sungguh mengagumkan, canggih, millennial dan luar biasa. Dibanding Charles de Gaulle, International Airport di Paris sekalipun.
Bagi penguasa, pejabat, birokrat, orang kaya dan para cukong, tak ada yang mustahil dapat mengunjungi berbagai kota itu.
Namun bagi saya “sebagai anak petani miskin”, bapak saya hanyalah buruh perkebunan, penderes getah (pohon karet) dan “tukang nonjol” buah kelapa sawit di berbagai perkebunan di Labuhan Batu dan Asahan Sumatera Utara. Tak pernah membayangkan mampu meraih pencapaian ini.
Di usia saya 10 tahun, sekolah pun harus berjalan kaki sejauh 16 Km setiap hari tanpa alas kaki. Hal ini saya lalui hingga lulus Sekolah Dasar (SD).
Sebuah harapan yang kini saya sandarkan pada ridho Allah SWT, adalah pencapaian berikutnya : dapat mengunjungi “Benua Amerika”, ke Negara dan teritori yang belum terbayangkan.
Lalu apa yang membuat saya begitu percaya diri “tanpa uang”, namun dapat melalui pencapaian ini……?
Kuncinya ini “Jika uang menjadi tujuan kamu akan mendapatkannya, tetapi jika “kasih” menjadi tujuan kamu akan mendapatkan keduanya.
Ambillah pekerjaan Tuhan, dimana sebagian besar orang tidak mau mengambilnya yaitu melayani, menghadirkan agama di muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan.
Salam Humaniora.
Penulis : Eddie Karsito (Penggiat Seni Budaya, Aktor, Wartawan)