BANDUNG, BEREDUKASI.COM – BANYAK faktor yang menjadi penyebab datangnya banjir. Kota Bandung yang memiliki rasio penduduk yang sangat padat telah menimbulkan dampak pada tata ruang. Sehingga jika hujan turun, di sejumlah wilayah sudah dipastikan tergenang banjir.
Jika diinventarisir, banjir di kota Bandung diantaranya disebabkan belum optimalnya koordinasi penanganan genangan banjir, belum optimalnya sarana dan prasarana Sumber Daya Air, rendahnya kapasitas drainase, tingginya sedimentasi dan sampah di saluran drainase serta berkurangnya daerah resapan air yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan.
Berdasarkan data dari dokumen Rencana Strategis Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah titik genangan air dari 46 titik pada tahun 2020 menjadi tersisa sebanyak 10 titik genangan di Tahun 2023.
Meski terlihat penurunan titik genangan yang menjadi indikator keberhasilan dalam mengatasi banjir, namun pada kenyataannya terdapat titik banjir baru yang belum terpetakan pada saat dokumen Renstra tersebut disusun, antara lain titik banjir di bawah Fly Over kopo dan kawaluyaan.
Persoalan ini tentu saja menuntut untuk diselesaikan secara bersama-sama. Pemerintah selaku pembuat regulasi tentu saja harus mendapat dukungan dari semua elemen termasuk warga kota Bandung. Karena sekian persen penyebabnya ternyada adalah kesadaran dari warga kota Bandung itu sendiri. Lantas apa yang haru dilakukan oleh warga dan pemerintah ?
Dalam upaya penanggulangan banjir, berikut adalah apa yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat ?
Pertama, memberikan contoh perilaku dengan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai yang akan mengakibatkan tersendatnya gorong-gorong dan drainase.
Kedua, menanam pohon di halaman rumah dan atau lingkungan sekitarnya untuk dapat meningkatkan daya serap air tanah. Ketiga, membuat sumur resapan dangkal (drumpori) di sekitar tempat tinggal.
Sedangkan Pemerintah Kota Bandung dapat menerapkan Regulasi yaitu :
1. Setiap pemohon Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Dinas Cipta Karya Bina Konstruksi dan Tata Ruang (Dinas Cipta Bintar) wajib membuat sumur resapan dangkal.
2. Membangun dan memelihara taman kota sebagai ruang terbuka hijau dan serapan air oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
3. Konservasi lahan kritis di hulu sungai dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup.
4. Sosialisasi dan edukasi masiv yang dilakukan oleh aparat kewilayahan kepada warga masyarakat serta memastikan pasukan gorong-gorong dan kebersihan melakukan pemeliharaan saluran air dan melakukan fungsi pemantauan ketika hujan deras.
5. Adapun, sebagai dinas teknis yang mengampu urusan Pekerjaan Umum khususnya dalam penanganan banjir. Maka Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung melaksanakan pembangunan infrastruktur penanganan banjir seperti pembangunan rumah pompa, tembok penahan tanah, penataan sempadan sungai , membuat Kolam Retensi (Parkir Air), serta normalisasi sungai dan saluran air.
Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung sendiri sejauh ini juga telah melakukan berbagai upaya dalam mengatasi persoalan banjir ini. Diantaranya, membuat 12 kolam retensi. Bahkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan membuat kolam retensi di Tegalluar melalui kolaborasi dengan Kabupaten Bandung.
‘Sudah ada 12 kolam retensi. Ini telah melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Targetnya satu per tahun, tapi kita sesuaikan dengan kebutuhan dan lahan yang bisa dimanfaatkan,’ ucap Didi.
Selain itu, kata Didi, saat ini ada 4.500 sumur resapan di Kota Bandung dari potensi 500.000 yang harusnya bisa ada.
‘Kita coba selesaikan hujan di halaman sendiri, jangan sampai masuk ke halaman orang lain,’ ujarnya.
Pemkot Bandung melalui DSDABM juga telah menyediakan tujuh rumah pompa untuk mencegah banjir.
‘Ada di daerah Merkuri, Adipura, dan Rancabolang. Sebagian besar efektif, tapi ada beberapa yang tidak efektif. Di Rancabolang itu kalau debit air Cidurian naik malah hasil pompanya akan balik lagi,’ tuturnya.
Didi mengaku, jika penanggulangan banjir ini memiliki beberapa kendala, terutama pada aspek perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Belum lagi ditambah penyerobotan lahan badan sungai yang diperkecil.
‘Tahun ini akan kita coba pengelolahan ‘greywater’, limbah rumah tangga dari bekas cuci dan mandi. Ini kita olah agar airnya jadi bening sebelum dibuang ke sungai,’ ucapnya.
Upaya lain mendatang yang akan dilakukan DSDABM Kota Bandung adalah membangun hutan kota di beberapa titik, salah satunya yang terdekat di Cikapundung Kolot.
‘Dengan penanaman pohon dan membangun hutan kota, kita bisa meningkatkan daya resap air,’ katanya.
Selain itu, pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Dinas Cipta Karya Bina Konstruksi dan Tata Ruang (Dinas Cipta Bintar) juga telah menerapkan sejumlah persyaratan pada proses izin mendirikan bangunan untuk meminimalisir banjir.
Persyaratan itu tercantum dalam Keterangan Rencana Kota (KRK). Dimana mensyaratkan aturan mengenai GSB (Garis Sempadan Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan) dan KDB (Koefisien Dasar Bangunan).
‘Pada prinsipnya, salah satu tupoksi Dinas Cipta Bintar, adalah melakukan pengendalian dari aspek perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan. Aspek pengendalian perencanaan adalah, setiap masyarakat yang akan melakukan pembangunan, harus mengantongi perizinan. Dimana harus didahului oleh rekomendasi. Rekomendasi-rekomendasi inilah yang mengatur terkait tata ruang,’ jelas Sekretaris Dinas Cipta Bintar Rulli Subhanudin dikantornya, Senin, (8/5/2023).
Kemudian, kata Rulli, ada aspek pengendalian perencanaan, yang terbagi dua sub. Pertama sub aspek tata ruang dan sub aspek bangunan gedung.
‘Nah, di aspek Tata Ruang ini, kita melakukan pengendalian dan perencanaan dengan outputnya adalah keterangan rencana kota (KRK) berikut turunannya. Misal bapak membangun pabrik didaerah perdagangan, itu tidak boleh, itu salah satu bentuk pengendalian tata ruang. Lalu aspek Intensitas, KDB maksimal berapa, KLB maksimal berapa, RTH dan lain lain, itu adalah bentuk perencanaan aspek tata ruang,’ kata Rulli.
‘Ketika pemohon melakukan kegiatan pembangunan, itu dulu yang harus dikantongi sebagai dasar arsitek yang ditunjuk oleh yang punya kegiatan, melakukan kegiatan perencanaannya. Gambar yang diberikan pemohon yang akan melakukan kegiatan pembangunan, kita periksa, sumur resapannya disarankan, jangan sampai si air yang ada di persil itu membebani jaringan insfrastruktur, maupun gorong-gorong, sehingga diamsusikan bisa meminimalisir beban gorong-gorong,’ imbuhnya.
Rulli mengatakan, yang terjadi saat ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap regulasi yang ditetapkan. Bahkan dia menyebut banyak yang pemohon izin yang melanggar.
‘Yang diizinkan 50 namun dibangun 70, diizinkan 60 tapi dibangun 90. Kita sangat tegas, jika tidak sesuai harus dibongkar. Saya tidak mendiskreditkan, namun mencoba memproporsionalkan masyarakat untuk menyikapi regulasi,” katanya.
Banyak yang terjadi, sambungnya, kepentingan ekonomi melebihi kepentingan dampak.
‘Contoh begini, bapak punya kos-kosan 10, dari sisi ekonomi nggak masuk, biar masuk kalau bisa 20 kamar, artinya apa kepentingan ekonomi mlebihi kepentingan. Nah dampaknya, jadi macet, bangunan jadi lebih besar dan akhirnya menyebabkan banjir. Inilah yang harus kita selesaikan secara bersama sama, karena peran serta masyarakat sangat penting,’ paparnya.
Sedangkan aspek selanjutnya, lanjut Rulli, adalah pemanfaatan.
‘Ketika bangunan selesai dibangun dan dimanfaatkan, wajib mengantongi Sertifikat Leklu C,” ucapnya.
Menurut Rulli, rangkaian ini merupakan kolaborasi dari beberapa regulasi untuk memberikan batasan-batasan kepada masyarakat untuk mendapatkan kota yang Liveble, yang sesuai. Mulai mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pemanfaatan.
‘Untuk membangun sebuah kawasan dengan skala kota, itu peran serta masyarakat sangat penting, membangun sesuai perijinan, dengan upaya-upaya diatas, maka harapan ke depannya Bandung bebas banjir,’ pungkasnya. (ADV)