Bandung, BEREDUKASI.Com — “KEEP moving and waiting for shine” adalah motto dari Alwi Nugraha, atau yang biasa dipanggil “Al” oleh teman-temannya atau “Win” dilingkungan keluarganya.
Pemuda yang lahir di Bogor, 9 Januari 1996 ini juga mengungkapkan, bahwa mottonya mengandung makna untuk terus berjalan dan terus bergerak.
“Sebuah prinsip yang saya percaya bahwa diam adalah kematian, bahkan membunuh keniscayaan. Jika saya kutip perumpamaan dari Pak Habibie. Bahwa agar kita tetap seimbang dalam bersepeda, maka kita harus terus berjalan. Lalu mempertimbangkannya, mengatur langkah dan terus berjalan,” tandasnya.
Alwi melanjutkan bahwa perjalanan seorang manusia panjang, tidak akan habis untuk hanya mencoba. Tidak ada yang lahir langsung berlari, tapi jika dari lahir terus berpikir saja bagaimana caranya berlari, maka jangankan berlari berjalan saja mungkin tidak bisa.
“Bukan tanpa alasan, karena makna hidup bagi saya adalah sebuah perjalanan menemukan jati diri. Apalagi zaman modern seperti ini, tugas kita dipermudah. Semuanya bisa dicari di Google, tapi tidak dengan jati diri kita. Hal itu pula yang membuat saya selalu optimis, bahwa Tuhan akan menyampaikan pada maksud tujuan makhluk ciptaannya, jadi kita tunggu sambil berproses,” paparnya.
Anak ke 2 dari 4 bersaudara, ini juga kini tengah menekuni dan memiliki perhatian lebih pada isu pendidikan dan literasi. Bahkan ia bercita-cita memiliki lembaga pendidikan dan merangsang minat Literasi peserta didik.
“Saya yakin bahwa perubahan memakan waktu yang panjang, perlu sistem yang fokus dan berkelanjutan. Tidak akan berhasil hanya dalam waktu 5 tahun selama menjabat jadi menteri, lalu berganti dengan kebijakan lain sesuai pergantian pemangku kebijakannya. Secara gambarannya saya rekomendasikan tonton film 3 Idiot,” ucapnya.
Alwi yang kuliah di STFI Sadra Jakarta jurusan Ilmu Alquran & Tafsir ini pun bercerita. Bahwa ia mengambil jurusan tersebut, karena Al Quran baginya adalah kitab yang sangat tinggi nilai sastranya.
“Untuk kegiatan saat ini, saya sedang menyusun skripsi dan kebetulan sedang menjabat Wakil Forum Komunikasi Tafsir Hadits Indonesia (FKMTHI) Jakarta-Banten. Selain itu, sedang merintis pembuatan konten tulisan yang berbasis kebudayaan bersama “Baraya Sunda jkt” dan video pendek mengenai refleksi filosofis tentang kehidupan dan isu terkini bersama “Reflective Prod”.
Dan di dunia Literasi sedang merintis Saung Baca di daerah Bogor. Do’akan saja semoga ke depannya tersebar di seluruh penjuru Kabupaten Bogor,” jelasnya.
Adapun soal prestasi, sejak SD hingga SMA rangking Alwi tidak jauh dari 1-3. Bahkan selama 3 tahun di SMA selalu Juara 1. Begitu pun ketika dua semester awal IPKnya masih sempurna 4,0.
“Namun di semester selanjutnya, IPK saya berkurang. hal itu karena saya tidak berhasrat lagi dengan angka. Saya memandang angka-angka itu adalah penghalang bagi saya untuk menemukan diri saya. Kendati demikian, sebagai gantinya saya sering mengikuti Lomba Larya Tulis Ilmiah dan Jurnal. Tulisan saya pernah tembus dan dipresentasikan di BUAF th3 Palangka raya 2018. pernah meraih beasiswa Tahfiz Kemenag 2016 dan Beasiswa Miskin Berprestasi 2018,” ulasnya pemuda dengan tinggi 168 CM.
Pemfavorit warna hijau dan penyuka sayur asem ini pun bercerita bahwa ia memiliki beraneka hobi seiring bergulirnya waktu.
“Dari kecil saya sangat senang dengan menggambar dan melukis bahkan jika ingin uang untuk jajan. Saya menggambar kartun dan menjualnya. Karena maklum, orang tua saya hanya memberi uang jajan yang cukup untuk membeli satu gorengan itu pun kadang-kadang. Usia SMA sampai masa awal kuliah hobi ini ditambahi dengan skill yang agak serius berupa Seni Tulis Kaligrafi Arab,” tandasnya.
Alwi juga sempat menjadi Guru dan Pelatih Laligrafi yang berhasil membawa peserta didiknya lolos menjadi Juara I Lomba Laligrafi Se-Kabupaten Bogor, pernah pula menjadi Juri Kaligrafi yang diadakan oleh MAN 2 Bogor.
“Hobi lain yang saya gemari adalah membaca dan menulis sastra. Senang membaca beberapa buku terkait sastra seperti karangan Chairil Anwar, Jalaluddin Rumi, Nizar Qabbani dan penyair lainnya ” ucapnya.
Alwi pun senang dengan hal yang berbau seni. Selain memang hal tersebut sesuatu yang estetetis, baginya seni mengajarkan arti kejujuran dan menjadi diri sendiri.
“Bukanlah seorang seniman jika ia hanya mencontoh orang lain. Seniman sejati adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya, perjalanan menjadi Seniman adalah perjalanan memasuki jiwa paling dalam, mencoba berdamai dan keluar sebagai pemenang atas kebebasan dirinya. Itulah mengapa seorang Friedrich Schiller mengatakan bahwa, Art Is The Daughter for Freedom,” urainya.
Selain hal yang berhubungan dengan seni. Alwi juga senang jalan-jalan. Bukan tempat Wisata atau Mall yang senang ia kunjungi. Melainkan masyarakat, mendengarkan cerita mereka belajar hidup dari mereka. Atau karena ia tinggal di kota Jakarta, kadang ia jalan-jalan menjajaki penjual di pinggiran jalan. Karena baginya mereka adalah inspirasi hidupnya.
“Tentang tokoh idola, saya mengagumi tokoh-tokoh yang namanya jarang disebut bahkan dibuang. Seperti Wahid Hasyim ayahnya Gus Dur yang gerakannya senyap, menyusup dan mengenai sasaran menjadi penyambung lidah antara penjajah dan rakyat, mengubah keputusan penjajah, tanpa merasa diubah berkat kepiawannya dalam melobi dan komunikasi. Juga Tan Malaka, Bapak republik yang hidupnya terlantung dan terbuang bahkan tempat peristirahatan terakhirnya pun sepi dan terpelosok,” ulasnya.
Bagi Alwi, mereka adalah orang-orang yang bergerak tanpa nama dan diakar rumput. Mendatangi rakyat dan membuat perubahan.
“Jika ditanya kini siapa idola yang merepresentasikan gerakan akar rumput, ia adalah Emha Ainun Nadjib yang setiap harinya bertemu dan menyapa langsung masyarakat, dengan bahasa dan laku masyarakat,” terangnya yang juga mengaku selalu mendapatkan inspirasi dari kedua orangtua.
Alwi pun berharap kedepannya untuk dapat menemukan jati diri, sebelum kematian menemukannya. Seperti yang Jalaludin Rumi pernah katakan bahwa “Dulu ketika aku pintar, aku ingin mengubah dunia, kini aku bijaksana yang ingin ku ubah adalah diri sendiri” dan pada tahap bijaksana itulah syair-syair ia tulis dan nyatanya itulah yang mampu mengubah dan menggerakkan banyak hati pembacanya di seluruh penjuru dunia. Yang maksudnya adalah bahwa perubahan itu berasal dari dalam diri.
“Adapun harapan saya untuk perubahan bangsa adalah saya ingin menjadi garis paling depan. Memang saya tidak berminat untuk menjadi Menteri, Anggota Legislatif atau Presiden seperti kebanyakan orang yang mendambakan perubahan dari “Atas” tidak akan menolak jika memang dipercaya oleh Negara. Namun saya lebih tertarik untuk membangun negara,” ulasnya lagi.
Terakhir Alwi pun mengatakan bahwa negara ini terbentuk dari gerakan rakyat yang sadar dan ingin merdeka dari para penjajah. Adanya kesamaan kultur mengidentifikasikan adanya gerakan akar rumput yang pernah terjadi pada dekade sebelumnya.
“Hari ini ketertinggalan bangsa kita karena kita sedang tidak sadar, kita sedang dibodohkan dengan hanya dijadikan sebagai penikmat hasil produksi “penjajah”. Karena itu untuk mencapai perubahan dan menyeimbangkan kemajuan teknologi, perlu adanya langkah “bersama-sama sadar” melalui pendampingan terhadap masyarakat,” pungkasnya dengan penuh semangat. (Tiwi Kasavela)