Jakarta, BEREDUKASI.Com — PERLUASAN makna Fikih memberi pemecahan terhadap berbagai masalah. Baik terkait dengan masalah Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya, maupun masalah kemasyarakatan lainnya. Fikih dengan paradigma baru perlu diterapkan dan dijadikan asas dalam kehidupan hari ini.
Demikian antara lain dikemukakan A.H. Ibnu Rahman Al-Bughury, S.Hi, dalam Kajian Hukum Islam, bertajuk “Fikih Medsos” yang disiarkan melalui Channel Youtube Masjid Al Arqam, Badan Pusat Statistik (BPS) Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu, 16 September 2020.
Kemajuan teknologi telah membawa masyarakat pada fenomena baru dalam berinteraksi. Media Sosial hari ini menjadi dunia baru bagi masyarakat, untuk berkomunikasi dan mencari informasi.
Bagaimana pandangan Fikih, terkait maraknya penggunaan Media Sosial……..?
“Segala sesuatu di muka bumi diperbolehkan memanfaatkannya. Selama tidak menimbulkan bahaya untuk diri sendiri dan orang lain,” kata Ibnu Rahman, mendalilkan.
Medsos, kata Ibnu, ibarat pisau bermata dua. Tergantung siapa yang menggunakan.
“Kadang bisa bermanfaat, tapi juga bisa menimbulkan kerusakan. Karena itu, mari bijak dalam bermedia sosial,” ajak penceramah alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qudwah Jakarta ini.
Ibnu menyayangkan, kebebasan Media Sosial ini acap kali tidak dibarengi Akurasi, Ketelitian, Integritas dan Keadilan dalam penyampaian berita. Media sosial hari ini tak sedikit menyuguhkan berbagai fitnah dari orang yang tidak bertanggung jawab.
“Video dipotong-potong dinarasikan tidak dengan data dan fakta sebenarnya. Konten fitnah, cari keburukan orang lain, penuh prasangka, dan permusuhan banyak sekali. Berita Hoax yang disebar mencari keuntungan pribadi, untuk kepentingan golongannya atau kelompok tertentu,” ujarnya.
Namimah atau mengadu domba, kata Ibnu, adalah perbuatan paling buruk diantara perbuatan buruk.
“Maukah kalian aku beritahu siapa yang terburuk diantara kalian….? Yaitu orang yang suka kesana-kemari menebarkan desas-desus, merusak (hubungan). Diantara orang-orang yang saling mencintai dan berusaha menimbulkan kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang yang bersih,” urainya mengutip Hadist Rasul.
Islam melarang menghina orang lain. Namun di sisi lain, kata Ibnu, Medsos sukses menjadikan Bullying marak.
“Media Sosial memungkinkan semua orang menjadi Publisher atau Penyebar Berita. Bahkan berita palsu atau Hoax, termasuk semakin maraknya unggahan Hadits Palsu, Khurafat Kontemporer, Fitnah dan lain sebagainya,” ujarnya.
Lebih memprihatinkan, kata Ibnu, tak sedikit masyarakat yang kurang menyadari bahwa mereka adalah korban para “Buzzer” yang mendapat keuntungan dari tindakannya.
“Para “Buzzer” Negatif ini mencari keuntungan dengan cara menyediakan atau menyebarkan Informasi Hoax, Ghibah, Fitnah, Adu Domba, Ujaran Kebencian dan menebarkan permusuhan yang bernuansa SARA. Pelaku (Buzzer) dan orang yang mendanai kegiatan Buzzer hukumnya Haram,” ujar penulis buku “Bagi Warisan Sesuai Syariat” ini.
“Buzzer” merupakan akun-akun di Media Sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan. “Buzzer” biasanya lebih ke kelompok tidak jelas siapa identitasnya. Memiliki motif ideologis atau motif ekonomi dengan menyebarkan informasi tidak benar. “Buzzer ini Haram di Media Sosial. Merusak kemaslahatan umat,” ujar Ibnu.
Para “Buzzer” justru sengaja mengedepankan hal-hal yang bersifat “Furu’iyah” (Perbedaan) Pandangan, Pola Fikir, Faham dan berbagai perbedaan lain yang seringkali memicu “Tafriq” (Perselisihan, Perpecahan).
“Karena itu jika ingin menyampaikan pendapat harus adil. Perbedaan memungkinkan melahirkan beragam pendapat. Menghadapi hal ini seharusnya kita bisa berlapang dada. Kita tetap menghormati orang lain yang pendapatnya berbeda. Keragaman pendapat harusnya membuka cakrawala berpikir kita,” ujarnya (Eddie Karsito).