Bandung, BEREDUKASI.Com — TERGABUNG dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan Disabilitas, membuat Muftiah Yulismi S.PSi atau yang hangat disapa Mufti ini.
Memiliki perhatian yang dalam terhadap anak-anak yang “Berkebutuhan Khusus”. Selain menjadi Wakil Ketua Pokja Inklusif Kota Bandung dan Humas Pusat Sumber Bandung. Mufti juga menjadi konselor SLB NA Kota Bandung.
“Berangkat dari Deklarasi Internasional di Spanyol. Bahwa semua negara sepakat mengenai pendidikan yang berkeadilan. Maka muncullah Pendidikan Inklusif. Adapun istilah Inklusif sendiri berasal dari kata “Include” yang artinya memasukan. Serta dapat juga jabarkan dengan memberikan pelayanan kepada peserta didik apapun kondisinya,” terang Mufti.
Kota Bandung sendiri, pernah menjadi tuan rumah Kongres Pendidikan Inklusif di Indonesia yang berlangsung pada tahun 2002. Sejak saat itu mulai ada sosialisasi program dari pemerintah, mengenai proses kebijakan Disabilitas di ranah umum. Mengadakan upaya akomodir bagi anak-anak Disabilitas untuk membantu mereka, dalam masalah fisik maupun psikologis. Baik yang mengalami hambatan Konsentrasi, Hiperaktif, Autisme dan lain sebagainya.
“Mulanya ketika anak Disabilitas masuk ke sekolah umum, memang sempat terjadi penolakan. Ya… alasannya memang rasional, karena hal ini cukup sulit. Namun pemerintah berupaya untuk menjadi “ruh” bagi pelayanan pendidikan. Kemudian mengkomunikasikan bagaimana KBM bisa berjalan secara efektif,” papar Mufti disela-sela kesibukannya.
Bagi Mufti, sekolah merupakan wadah bagi kemampuan bersosialisasi. Sehingga tidak boleh ada pengkotak-kotakan. Selain itu pentingnya memberikan pelayanan terbaik bagi anak dengan menyesuaikan usia mereka. Dan Guru perlu membangun sebuah dinamika, sehingga semua anak mendapatkan pelajaran yang mereka butuhkan.
Tentunya seorang Guru harus memahami kode etik sebagai pendidik yang harus memiliki beberapa kompetensi.
Dalam Pendidikan Inklusif, seorang Guru sebaiknya menilai peserta didik secara komperhensif. Bukan hanya dari segi akademis, tapi secara kepribadian dan sosial.
“Selain itu melihat capaian mereka, tidak hanya sebatas kuantitatif tapi juga kualitatif. Guru yang terampil dan “multitasking”, akan mampu mendukung Pendidikan Inklusif dengan baik,” komentar Mufti.
Bandung yang merupakan penggerak Pendidikan Inklusif, tahun 2014 lalu mendapatkan kesempatan dari Pemerintah Pusat untuk membuat Pokja Inklusif.
Ini semua sesuai dengan Pergub No 72 Tahun 2008, mengenai aturan tentang syarat Deklarasi Pokja, Unsur Birokrasi Profesional, Masyarakat dan Akademisi.
Kemudian adanya kampanye masif berupa “workshop”. Dan puncaknya dengan “Deklarasi Pendidikan Inklusif” yang dilaksanakan, bulan Oktober 2015, lalu oleh Walikota Bandung.
“Setelah Deklarasi tersebut, tentunya bukan hanya sebatas selebrasi. Tapi dimulainya tantangan untuk mewujudkan hal tersebut. Kami mulai dengan mengkritisi PPDB sesuai dengan Perwal 610 tahun 2016. Tentang PPDB Kota Bandung,l. Bahwa 1-3 % anak-anak PDBK (Peserta Didik Berkebutuhan Khusus). Harus diterima di sekolah dan mendapatkan fasilitas,” ujar perempuan kelahiran 10 Juli 1979 ini.
Mufti menjelaskan bahwa, Pendidikan Inklusif yang baik adalah yang terbuka, ramah dan mengakomodir keberagaman. Seperti kepada anak-anak yang membutuhkan pelayanan spesial ataupun bagi individu yang unik.
“Inklusif sendiri sejalan dengan psikologi pendidikan, karena itu pembekalan juga harus terus dilakukan oleh para pendidik. Baik mengenai pendidikan luar biasa, ilmu komunikasi untuk memenuhi profesionalisme para Guru,” harap Mufti.
Bahkan Pendidikan Inklusif dapat menjadi filosofi bagi layanan pendidikan. Nantinya akan menjadi sebuah cara untuk mewujudkan sekolah yang ramah dan menyenangkan bagi setiap anak. Sehingga peserta didik akan berkembang dengan baik. (Tiwi Kasavela)