Bandung, BEREDUKASI.COM — Sore itu, sebelum matahari tenggelam, dengan senyum hangat, Nikodemus Niko atau yang akrab disapa Niko bercerita mengenai beberapa fragmen dan perjalanan hidup yang ia jalani, tentang kebahagiaan, prestasi dan hidup yang ia maknai.
“Saya lahir di sebuah Desa bernama Pejalu yang terletak di pedalaman Kalimantan Barat tanggal 26 Januari tahun 1993, meskipun di semua dokumen saya ditulis pada tahun 1992,” ucapnya membuka perbincangan.
Dalam hidup ini, lanjut Niko, ia ingin menjadi manusia yang bermanfaat dan terus berupaya mendapatkan pencapaian.
“Bagi saya dapat menyelesaikan tugas, menulis buku, jurnal, dan tulisan ringan lainnya adalah sebuah prestasi,” jelasnya.
Namun prestasi yang paling berkesan adalah saat ia mendapatkan beasiswa Bidik Misi untuk studi S1, kemudian pernah menjadi 5 besar lomba tulis nasional di Universitas Parahyangan tahun 2013, menjadi juara 2 tingkat Provinsi Kalimantan Barat untuk lomba karya tulis ilmiah itu tahun 2014, masuk ke dalam 5 besar Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) tingkat Universitas Tanjungpura tahun 2014.
Setelah itu ia juga mendapatkan beasiswa LPDP untuk studi S2 tahun 2015, dan tahun 2017 menjadi delegasi dari Indonesia untuk forum internasional di bidang ilmu sosial, humanities dan Art, dan ia lulus studi S2 tepat waktu serta Cum Laude.
“Saya hobi menulis. Pada waktu SMP dan SMA hingga kuliah, saya sangat senang menulis sastra. Dulu saya pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen bersama teman saya,” ungkap penyuka udang goreng dan bakar serta sambel pete dan jengkol rendang ini.
Puisi dan cerpennya juga beberapa kali pernah diterbitkan di koran lokal di Kota Pontianak, dan pada saat kuliah S1, opini yang ia tulis juga sering diterbitkan di koran lokal.
“Lalu semenjak menjalani studi Magister, saya jadi senang menulis ilmiah seperti jurnal, mungkin karena tuntutan tugas kuliah juga. Beberapa tulisan saya diterbitkan di jurnal Nasional dan prosiding seminar nasional, ada juga di jurnal Internasional dan prosiding Internasional,” ulasnya.
Dan ternyata Niko juga sudah menerbitkan 3 buku sendiri dan beberapa buku bunga rampai bersama rekan-rekan kuliah. Alasannya kenapa i menulis sederhana, karena ia ingin menyebarkan manfaat bagi banyak orang.
“Saat saya SD, saya memiliki keinginan untuk bisa menulis di koran-koran, karena saya suka mengumpulkan koran bekas,” terang pemilik tinggi 161,5 CM.
Saat SMP ia pun mempunyai mimpi untuk membuat buku, waktu itu ia masih sangat suka membaca novel-novel bekas yang hanya dengan harga 5 ribu rupiah ia bisa mendapatkan 3 buah novel.
“Saat ini, saya lebih senang menulis ilmiah yang merupakan hasil pemikiran keilmuan sosial, sehingga bisa mengutip informasi yang penting dari tulisan-tulisannya,” ceritanya lagi.
Ditanyai mengenai motto hidup, Niko menjawab bahwa motto hidupnya seperti yang ia kutip dari alkitab yaitu “Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam Kasih” (1 Kor. 16:14)
“Kalimat tersebut menjadi sumber inspirasi untuk mengarungi apa yang saya lakukan, dan akan saya lakukan di dalam Kasih. Artinya bahwa saya ingin menjadi manfaat bagi orang lain, salah satunya dengan hobi saya menulis, itukan menjadi manfaat bagi orang lain, juga bisa menginspirasi bagi orang lain. Bukan untuk mencari ketenaran, namun menebar manfaat dan melakukan pekerjaan dalam kasih,” tandasnya.
Mengenai cita-cita, Niko berkata bahwa saat SD, SMP, dan SMA ia ingin menjadi seorang Dokter. Namun, seiring berjalan waktu, ketika di bangku SMA ia menyadari bahwa menjadi Dokter selain bersaing ketat, juga biayanya sangat mahal. Keluarganya yang merupakan keluarga golongan ekonomi menengah ke bawah tidak akan mampu.
“Untuk itu kemudian saya mendaftar beasiswa Bidik Misi, yang merupakan beasiswa untuk siswa miskin yang memiliki prestasi bagus di sekolah. Dan saya lulus dengan mengambil jurusan Sosiologi. Dari situlah cita-cita saya menjadi Dokter sudah pupus. Dan cita-cita saya berganti untuk menjadi Doktor sebelum usia saya 30 tahun,” terang mahasiswa semester 1 di FISIP Universitas Padjadjaran, pada Program Studi Doktor Sosiologi.
Untuk kesibukan saat ini, Niko sedang menyiapkan proposal riset S3 dan membantu dosennya penelitian. Untuk aktivitas lainnya adalah aktif di komunitas kepemudaan dan mengikuti berbagai seminar.
“Mengenai tokoh idola, saya menggemari Vandana Shiva, seorang feminist dari India yang sangat benar-benar menginspirasi hidup saya. Jika, Tuhan berkehendak saya sangat ingin berjumpa dengan beliau pada suatu hari, dimanapun itu,” tandas penyuka warna merah maroon, soft dan calm.
Untuk tokoh idola dalam negeri, ia juga mengagumi sosok Yohana Yembise, menteri yang sangat strategis membantu perempuan dan anak.
“Jika ditanya cita-cita saya 5 atau 10 tahun ke depan, saya akan menjawab saya ingin menjadi menteri yang banyak membantu dan melindungi perempuan dan anak-anak,” ungkapnya lagi.
Adapun yang selalu menginspirasinya adalah kedua orang tuanya yaitu, ibu dan ayahnya.
“Orang tua saya pendidikannya tidak tamat SD, ibu saya hanya pernah duduk di bangku kelas 3 SD, dan bapak saya hanya pernah duduk di bangku kelas 5 SD. Tapi, mereka sangat berpengaruh luar biasa dalam hidup saya. Saya hari ini adalah saya yang mereka didik dengan pendidikan seadanya. Dukungan mereka terhadap apa yang saya lakukan sungguh luar biasa, mereka adalah yang menginspirasi saya dari waktu ke waktu,” terangnya haru.
Niko menerangkan bahwa hidup yang ia maknai adalah soal pilihan-pilihan. Dalam hidup ini kita selalu dihadapkan dengan pilihan A, B, dan C. semua pilihan itu sangat relatif, baik dan buruk. Dan baginya pilihan itu tidak ada yang paling baik dan juga tidak ada yang paling buruk, semuanya relatif dari realitas aja.
“Seperti baru-baru ini saya harus memilih untuk tetap tinggal di Bandung atau di kota lain. Namun, kembali ke perihal yang saya tekankan di awal bahwa saya ingin menjadi manfaat bagi banyak orang, jadi hidup saya akan memiliki makna jika bermanfaat bagi banyak orang,” terangnya.
Niko pun bercerita bahwa banyak sekali hal yang menjadi kekuatannya. Namun yang paling ia yakini adalah kekuatan Doa orang tuanya.
“Saat saya berkuliah di Pontianak, saya pernah menjadi tukang cuci, pernah bekerja paruh waktu menjaga outlet jualan makanan, dan saya menikmati apa yang saya kerjakan. Saya juga pernah hanya memiliki uang tersisa 2 ribu rupiah, dimana saya belum menerima uang beasiswa. Jadi, uang beasiswa itu jumlahnya 650 ribu untuk kebutuhan kuliah, untuk biaya tempat tinggal dan biaya hidup, itu sangat kurang untuk biaya hidup di Pontianak yang cukup tinggi. Sementara orang tua saya kan termasuk orang yang tidak berpunya juga, mereka hanya bisa mengirim beras dari kampung, biasa juga sayuran, itulah untuk saya bertahan hidup. Setidaknya, beras tidak perlu membeli untuk makan. Untuk menutupi kekurangan itu, saya mencari kerjaan paruh waktu itu untuk bisa bertahan hidup dan menyelesaikan kuliah sarjana tepat waktu. Tapi, apapun itu saya sangat bersyukur, jadi pengalaman-pengalaman itu sangat berharga bagi saya di hari ini dan di kemudian hari,” lanjut sulung dari dua bersaudara.
Hal terakhir Niko juga bercerita bahwa ia memiliki mimpi untuk mengikuti kontes-kontes, seperti ia pernah mengikuti kontes Bujang dan Dara Kota Pontianak, pernah juga mencoba ikut Putra Putri Batik Nusantara, dan pernah coba-coba ikut Duta HIV AIDS di Pontianak, dan sempat akan ikut Bujang dan Dara Gawai Dayak Provinsi Kalbar, tapi semuanya gagal, karena postur tubuhnya pendek.
“Keinginan saya ikut kontes karena ingin mengekspresikan diri, meskipun belum terwujud, saya tetap bersyukur dengan apa yang sudah saya upayakan dan capai dalam kehidupan ini,” tutupnya siang itu. (Tiwi Kasavela)