Jakarta, BEREDUKASI.Com — “PERBANYAK bangun Desa Wisata,” tukas Dini Asmiatul Amanah, mengawali obrolan.
Keramahannya membias di raut wajah pemangku gelar Putri Wisata Indonesia 2021 ini. Ia selalu tersenyum dan mempesona, memancing imaji lawan bicaranya.
“Membangun Desa Wisata, adalah bentuk ikhtiar kita mengurangi penduduk miskin di Desa. Apalagi saat ini kunjungan wisman sulit diandalkan akibat pendemi, Wisnus (Wisatawan Nusantara) menjadi target yang rasional dikejar. Dan Desa Wisata, bisa dinikmati semua lapisan masyarakat, Wisman (Wisatawan Mancanegara) maupun Wisatawan Nusantara (Wisnus),” ujarnya menegaskan diiringi dengan senyuman khasnya.
Sebagaimana kita ketahui, pandemi Covid-19 telah meluluh-lantahkan capaian pembangunan di berbagai Sektor Ekonomi, termasuk Pariwisata. Kehancuran Sektor Pariwisata terlihat pada anjloknya jumlah kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman). Tahun lalu, kunjungan Wisman tergerus hingga 75% menjadi 4,08 juta kunjungan dibanding 16 juta tahun sebelumnya. Di sisi lain, angka kemiskinan terus menaik dari 9,78% atau 26,42 juta jiwa di Maret 2020, menjadi 10,19% atau 27,55 juta jiwa di Maret 2021. Dari jumlah tersebut, penduduk miskin terbesar masih terkonsentrasi di pedesaan.
Pembangunan Sektor Pariwisata, kata Dini, dapat menjadi salasatu upaya meningkatkan Ekonomi masyarakat melalui pendekatan pengembangan potensi Daerah dan program berbasis Komunitas (Community-Based Program), melalui pengelolaan Desa Wisata misalnya.
“Membangun satu wilayah untuk menghasilkan satu produk kearifan lokal, berkelas global yang khas daerah dengan memanfaatkan sumber daya lokal,” kata gadis cantik asal Kampung Kisisik, Desa Gunungsari, Sukaratu Tasikmalaya ini.
Pengelolaan Desa Wisata yang berbasis potensi lokal tersebut, menurut Dini, memerlukan kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk senantiasa berinovasi dan kreatif dalam mengembangkan wilayah desa yang dijadikan sebagai Desa Wisata.
“Prinsipnya memberi nilai manfaat ekonomi bagi lingkungan wilayahnya dan yang paling penting peningkatan kesejahteraan untuk masyarakat lokal sekitarnya yang terlibat,” ujarnya.
“Terus Bekerja untuk Membuat Mimpi Menjadi Kenyataan”…..!
“Jangan takut bermimpi, apa yang dapat saya raih hari ini adalah bagian dari apa yang saya impikan. Mimpi adalah lukisan imajinasi yang sengaja atau tidak mengukir dalam pikiran. Dari mimpi itu saya terus bekerja untuk membuatnya menjadi kenyataan,” papar Dini antusias.
Dini tumbuh dan matang di berbagai organisasi. Sejak di bangku SMA, Dini aktif di Paskibraka. Saat kuliah di Bandung, Dini aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu organisasi yang digelutinya.
Dengan aktif di organisasi menurutnya, dapat menambah pengalaman, bagaimana bekerja dalam komunitas. Menyatu dengan para individu dari berbagai latar belakang dengan pola pikir yang tak sama, serta dengan beragam Suku dan Budaya.
“Dengan kesibukan di organisasi mau tidak mau kita belajar strategi menyatukan visi. Membagi kerja, dan menjalankan tugas, dengan beragamnya latar belakang budaya teman-teman,” ujar Sarjana Pendidikan Sosiologi, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini.
Berbagai benturan yang mungkin terjadi saat menyatukan visi, tentu akan menjadi tambahan pengalaman tersendiri.
“Begitu pula saat pembagian kerja, kita menjadi terbiasa untuk bekerja secara Team Work, saling membahu, mendukung satu dengan lainnya,” paparnya.
Interaksi dengan sesama anggota maupun pengurus organisasi membuat kita menjadi kenal dan dikenal banyak orang.
“Dengan kata lain, melalui pergaulan yang luas, kita akan memiliki banyak teman, selain kita dapat mempelajari karakter tiap orang,” kata Dini.
Masih menyoal hobinya berorganisasi, Dini menyinggung soal kebiasaan yang sangat melekat pada bangsa ini, yaitu kegotong-royongan. Kebiasaan guyub itu, kata Dini, semakin memudar setelah terdesak oleh perilaku individualis.
“Orang makin pragmatis. Serba uang. Duit jadi raja,” jelasnya.
Sejalan dengan itu, kata Dini, dominasi gaya kapitalis dengan perangkat nilai yang tidak sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa menjadi semakin marak.
“Yang lebih memprihatinkan lagi masyarakat terlalu mudah melakukan tindakan yang menimbulkan pertengkaran, mudah berkelahi, bentrokan, dan mengadu domba,” ujarnya.
Dini menambahkan, pandangannya bukan didasari romantisme historis masa lalu.
“Ini fakta riil akan pentingnya jatidiri untuk membingkai dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang makin kompleks akibat globalisasi,” ujarnya.
Memudarnya semangat gotong royong mengakibatkan semakin lemahnya identitas dan jati diri bangsa. Sebagai warga negara yang baik, lanjut Dini, menjadi keharusan bagi setiap warga untuk ikut melestarikan semangat gotong royong.
“Menghargai kebersamaan, perbedaan dan nilai-nilai gotong-royong yang selama ini menjadi kekhasan budaya kita. Menghargai Kearifan Budaya (local wisdom) yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang selama ini bermanfaat dalam berbagai aspek kehidupan,” ujarnya lagi.
Local wisdom (Kearifan Local), kata Dini memberi pengaruh positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai tradisi yang tumbuh, menurutnya, telah teruji dan menjadi sumber nilai dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat.
“Marena itu, pentingnya terus melestarikan nilai-nilai budaya lokal sebagai sarana pembentukan jatidiri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya,” ujar gadis yang tengah menempuh Pendidikan S-2 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini.
Budaya lokal, lanjut Dini, jangan sampai hilang. “Jangan sampai kesenian dan budaya kita tenggelam di bawah dominasi budaya asing. Melalui kegiatan pariwisata antara lain kita harapkan seni budaya berbasis lokal tetap eksis dan menjadi daya tarik bangsa-bangsa lain di dunia,” harap Ketua Kohati Cabang Bandung ini mengakhiri. (Eddie Karsito).