Bandung, BEREDUKASI.Com —
THE Lodge Foundation menggelar acara Monolog “Wanodja Soenda” di Grand Ballroom Hotel Savoy Homann Bandung Jawa Barat, Rabu, (29/1/2020).
Direktur The Lodge Group Heni Smith mengungkapkan, bahwa ia menggelar acara ini karena ingin mengangkat Budaya Wanita Sunda tahun 1870 hingga 1920. Serta ingin mengangkat juga, bahwa para Pejuang Wanita Sunda di masa lalu. Dapat menjadi “Guru Besar” bagi perempuan untuk Bangkit, Semangat, Sejajar dan Setara.
“Harapan saya dengan “Wanodja Soenda” ini, kedepan menginspirasi Wanita-Wanita Sunda dan seluruh wanita di Indonesia pada umumnya. Mengingat mereka berjuang dan bertekad bulat untuk memajukan bangsa,” tandasnya.
Adapun Karya Monolog ini lahir dari gagasan Direktur The Lodge Group, Heni Smith. Dan digarap secara apik oleh Wawan Sofwan sebagai Sutradara, Inaya Wahid sebagai Narator dan Atalia Praratya Kamil sebagai Pembaca Puisi.
Untuk Tim yang terlibat sebagai Penulis Naskah diantaranya adalah Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrulloh dan Faisal Syahreza.
Acara ini juga turut didukung oleh Satoe Komunika, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat serta PT. Kereta Api Indonesia.
“Dalam acara ini kami menghadirkan suasana Bandung Era tahun 1930-an. Dan mengisahkan tentang semangat perlawanan dari para Wanita Sunda di Era Hindia Belanda. Yang telah berkiprah di bidang Politik, Pendidikan dan Seni Budaya,” tambah Heni.
Adapun tokoh yang diusung yakni Raden Dewi Sartika (Sita Nursanti), Lasminingrat (Maudy Koesnaedi) dan Emma Poeradiredja (Rieke Dyah Pitaloka).
“Semangat perlawanan mereka terwujud, dalam setiap pergerakan dari perhimpunan para wanita yang pada masa itu mengalami Diskriminasi dan Penindasan,” jelasnya.
Selain itu, sebelum Monolog dimulai hadir pula penampilan dua wanita muda masa kini. Yang tengah berkarya sebagai simbol bahwa kaum wanita juga mampu melakukan pekerjaan yang dianggap hanya bisa dikerjakan oleh kaum laki-laki.
Wanita muda tersebut adalah Risa Noorisa seorang Penempa Logam dan Edrike Joosencia, seorang Pelukis Media Arang yang menampilkan karya-karya mereka yang mewakili semangat dan pengabdian seorang wanita.
Tiga tokoh Wanoja Sunda, memaknai perjuangan dalam garis sejarah. Yang satu sama lain saling terhubung oleh tali semangat perubahan. Tiga tokoh ini dalam pergulatannya yakni di jalur dunia Pendidikan dan Politik. Para Wanoja Sunda lebih dari sekadar menginspirasi tetapi berani bertindak dan mengambil peranan besar. Keputusan-keputusan berani, keluar dari paradigma yang menjerat lama kaum perempuan di masa penjajahan oleh para wanoja Tanah Sunda. Disikapi dengan aksi dan kepercayaan akan keadilan berdiri sebagai manusia yang setara,” papar Heni.
Mereka dikisahkan sebagai wanoja-wanoja di Tanah Sunda, yang dalam interaksi menghadapi berbagai macam warna dinding penolakan. Berbagai macam penindasan sampai mereka terbangun menyalakan “Api Perlawanan” dengan khas nan cerdas. Meski masing-masing dari mereka berbeda kota kelahirannya, generasi bahkan ruang jalur perlawanan. Yetapi satu sama lain menguatkan lewat keniscayaan kesetaraan dalam hidup bernegara dan mengabdi sebagai Manusia Indonesia. (Tiwi Kasavela).