Oleh : H. SYAHRIR .,SE.,M.I.Pol
MENJELANG di akhir jabatannya Ridwan Kamil sebagai Gubernur melakukan rotasi dan
mutasi pada 91 jabatan struktural. Hal ini tentunya menjadi bahan diskusi dan pertanyaan
elit politik maupun masyarakat Jawa Barat. Sehingga cenderung menjadi sebuah kegaduhan yang diwariskan Ridwan Kamil sesaat sebelum meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat.
Sebetulnya kegiatan mutasi dan rotasi merupakan fenomena yang biasa terjadi dalam organisasi pemerintahan. Mutasi dapat dikatakan sebagai
suatu perubahan
posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan pimpinan puncak organisasi (Kepala
Daerah) kepada seseorang yaitu aparatur pemda baik secara horizontal maupun vertikal (Promosi/Demosi) di dalam satu organisasi pemerintahan.
Sementara rotasi merupakan perpindahan pegawai namun lebih pada perpindahan tempat kerja dengan lingkup dan tugas pekerjaan yang cenderung berbeda agar para pegawai terhindar dari rasa jenuh atau
produktifitas yang menurun. Mutasi dan rotasi merupakan bagian dari pengembangan
sumberdaya manusia (SDM). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kompetensi pegawai,
mengembangkan motivasi, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman kerja, mutu proses pekerjaan dan produktifitas serta efisiensi organisasi. Selain itu promosi merupakan bentuk
apresiasi kalau seseorang memiliki kinerja di atas standar organisasi dan berperilaku sangat
baik yang diwujudkan dalam bentuk kenaikkan karir.
Saya memiliki pendapat bahwa Ridwan Kamil sebelum meninggalkan jabatannya
sebagai Gubernur Jawa Barat sebaiknya tidak mengganti atau memindah pejabat Aparatur
Sipil Negara (ASN) di lingkup Pemerintahan Daerah Jawa Barat, kecuali pejabat yang pensiun atau meninggal dunia. Hal itu bertujuan untuk menjaga ketenangan birokrasi pemerintahan dan bukan menyebabkan Tsunami Birokrasi di daerah. Selain itu penggantian atau pemindahan pejabat struktural yang dilakukan saat akhir jabatan Kepala Daerah, menimbulkan praduga, serta mengganggu produktivias dan kinerja para ASN. Padahal ASN
adalah aset pemerintah yang harus dijaga karirnya, apalagi dalam masa tahun politik
menjelang Pilpres dan Pemilu. Pada tahun politik menjelang Pilpres dan Pemilu, ASN
mendapatkan tugas pokok menjadi motor penggerak suksesnya penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu melalui netralitasnya sekaligus menjalankan pembangunan ekonomi nasional dan melaksanakan roda pemerintahan. Oleh sebab itu Ridwan Kamil untuk taat pada aturan
perundang-undangan yang berlaku, khususnya terkait pemindahan atau penggantian pejabat ASN di masa akhir jabatan.
Berdasarkan Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota yang menjelaskan bahwa Kepala Daerah dilarang
melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum habis maja jabatannya, kecuali mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Norma ini dibuat dengan tujuan untuk menjaga birokrasi tetap tenang bekerja, fokus pada pelaksanaan program dan kegiatan.
Mutasi atau pergantian pejabat tidak relevan dilakukan untuk membantu
memenangkan kontestasi Pemilu dan Pilpres. Kepala daerah tetap boleh memindahkan atau
mengganti pejabat, dengan mentaati aturan hukum yang berlaku. Walaupun boleh
memindahkan atau mutasi, namun jangan sampai ada ASN yang nonjob (tidak punya
jabatan) kecuali memenuhi syarat untuk dinonjobkan
Manuver Ridwan Kamil menjelang akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa
Barat dapat berujung menjadi wacana interpelasi dari anggota DPRD Provinsi Jawa Barat karena proses rotasi dan mutasi ini dinilai merugikan pejabat. Saya berpendapat bahwa
manuver Ridwan Kamil ini kurang etis serta mempertanyakan latar belakang dan keabsahan dari kebijakan mutasi tersebut serta apakah sudah sesuai aturan atau tidak. Hal ini bisa
menjadi dasar anggota DPRD Provinsi untuk mengajukan hak interpelasinya. Melalui
usulan interpelasi itulah diharapkan bisa menjadi ruang agar Ridwan Kamil bisa secara gamblang memberi penjelasan sehubungan DPRD Provinsi tidak punya data terkait kinerja pegawai yang mengalami mutasi maupun rotasi.
Terkait dengan permasalahan mutasi dan rotasi di atas, sudah seharusnya pihak DPRD Provinsi Jawa Barat untuk melakukan interpelasi terhadap Ridwan Kamil. Hak
Interpelasi merupakan hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah
(Eksekutif) mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta di dalam bernegara.
Hak interpelasi tercantum dalam Pasal 20A UUD 1945. Pasal tersebut memberikan
hak kepada anggota DPR/DPRD, yang diatur lebih lanjut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Lembaga Legislatif No. 17/2014, yang dikenal sebagai UU MD3. Interpelasi memberikan hak bagi anggota DPR/DPRD untuk memaksa pemerintah untuk menjelaskan kebijakan yang dilakukan. Langkah ini perlu mendapatkan dukungan lebih lanjut saat pengajuan hak interpelasi di bahas dalam rapat paripurna sampai pihak Gubernur mampu menerangkan dan menjawab permasalahan kebijakan yang dimasalahkan secara jelas, transparan dan terperinci.